Bastian


Ruby ketawa begitu liat Babas udah ngangguk merem melek, anaknya kekeh mau nungguin Ruby praktikum eh malah ketiduran.

“Bas, pulang yuk?”

Babas nih tumben loh langsung bangun, kan biasanya susah ya. “Makan dulu yuk, mau enggak? Aku pengen sop buntut.”

Ketawa lagi si eneng. “Yuk, aku aja yang nyetir ya. Kamu masih ngantuk bahaya kalau nyetir.”

Yaudah akhirnya berangkat nih berdua, boncengan pakai motor Babas tapi Ruby yang nyetir. Niat mau makan sop buntut, tapi ujungnya malah ke Halo Jae karena ya yaudah emang kenapa si?

“Aku ngerasa enggak enak banget, aku niatnya baik tapi ternyata malah jadi boomerang. Aku ngerasa enggak jadi temen yang baik buat Tendra, aku juga enggak enak banget sama Olip.”

Diacakin tuh rambutnya Babas sama Ruby. “Kadang, emang ada orang yang kepribadiannya itu susah ditebak, Bas. Tendra salah satunya, bukan karena kamu enggak cukup baik buat kenal dia. Tapi emang karakter Tendra itu yang bener-bener harus di treat hati-hati. Tapi yang penting, dari sini kamu bisa belajar kalau enggak semua hal itu umum buat semua orang. Maksudnya, ada kok hal-hal yang umumnya orang suka, tapi si orang ini enggak suka. Umumnya orang tau atau lakuin, tapi dia enggak. Dan itu enggak salah Bas, justru itu adalah hal yang harus coba kita hargai.”

Babas diem, jujur Babas tuh sedih banget tau. Gimana ya, kayak ih anjir apa selama ini gua doang yang nganggep lu temen ya?

“Aku jadi mikir, By. Apa mungkin selama ini ada banyak hal dari orang-orang terdekat aku yang aku enggak tau, tapi aku nganggep kalau aku tau semua tentang orang itu.”

“Nah, kayak gitu tuh enggak bisa Bas. Sedeket apa pun kita sama seseorang bahkan keluarga sekali pun, pasti ada aja hal yang kamu mau keep sendiri dan kamu enggak tau itu ya enggak masalah. Enggak semua hal harus kita tau, meskipun deket.”

“Kalau kamu, punya juga enggak hal-hal yang kamu simpen sendiri dan enggak mau aku tau?”

Ruby ngangguk. “Ada, bukan karena aku enggak percaya kamu tapi karena aku lebih nyaman kalau simpen itu sendiri.”

Babas senyum. “Ada hubungannya sama apa yang mau kamu lakuin nanti ya, By? Masa depan kamu, cita-cita kamu.”

“Apa pun itu, enggak akan berpengaruh apa-apa sama kita Bas.”

“Ngaruh kalau itu soal apa yang kamu pikir buat masa depan kita, aku sama kamu.”

“Terus?”

“Nantinya salah satu dari kita harus ada yang ngalah enggak sih?”

Do you really want to talk about this? Again? Sekarang?”

Babas diem.

Can we just enjoy what we have, Bastian? Kalau emang ujungnya enggak bisa, seenggaknya kita punya kenangan.”

Is it important?”

“Ya iya, lah?”

Ketawa kan Babas. “Aneh, enggak nyampe sama logika aku.”

“Enggak semua hal bisa diselesaikan pakai logika.”

“Ya harus lah, semua harus ada dasar ilmiahnya, semua harus dibuat make sense biar balance, enggak bisa enggak.”

Ruby menghela napas panjang. Asli lah apa sih Babas. “Do you believe in love? I mean in romantic way. Bukan yang universal like your love for your family, friends or something.”

I do, makanya aku sama kamu.”

Then, apa itu bisa dijelasin sama logika kamu?”

“Bisa, makanya aku mempertanyakan soal kita nanti. Karena semua itu cuma tentang ngeraih sesuatu By, idup mau apa, mau kemana, mau ngapain. Dan kalau hal yang kita lakuin itu enggak jelas, buat apa?”

“Mau putus?”

“Enggak.”

“Terus?”

Babas diem.

“Omongan kamu muter sana sini bikin bingung Bas, kamu lagi ketakutan karena apa yang kamu alamin soal Tendra kan? Kamu jadi takut kalau kamu enggak cukup baik buat orang-orang di sekeliling kamu, sedangkan di sisi lain kamu juga tau kalau kamu enggak akan bisa jadi sepenuhnya baik, buat siapa pun itu.”

Babas masih diem.

“Kamu bilang kamu mau semua jelas, aku juga. Kalau kamu banyak ragunya atau ngeganjel soal kita, putus aja enggak apa-apa. Biar enggak buang waktu Bas, kita bukan orang gabut kan? Jadi enggak usah buang waktu.”

“Pulang yuk.”

Ruby diem.

“Maaf udah bahas kesana sini aku pusing, sekarang pulang ayo.”

“Kalau nanti bener-bener udah ganggu, bilang ya Bas. Kita kalau mau selesai, ya selesai yang bener. Aku enggak mau ada keterpakasaan karena aku sayang kamu enggak pernah ada terpaksanya.”