Catatan Luka
Mataku menatap hampa benda persegi panjang, yang sedari tadi ku genggam. Menunggu kabar, dari sang pencuri hati yang kini menghilang.
Aku bukan seorang yang haus akan pengakuan, aku juga tak pernah menuntut untuk selalu diberi kabar. Tapi, apabila satu minggu menghilang tanpa penjelasan, bukan hal yang salah jika aku khawatir dan mencari, kan?
Malam-malam hampa, yang kulalui dengan penuh tanda tanya di kepala. Apa salahku? Apa yang terjadi? Sungguh, meninggalkan seseorang sendiri tanpa penjelasan, dan berakhir memaki diri karena tak kunjung menemukan hal yang salah, adalah tindakan paling kejam.
Netraku menatap sebuah foto, yang menampilkan aku, ibu, ibunya, dan dia, Aditya Klauzan. Sosok yang eksistensinya ku tunggu selama satu minggu belakangan ini.
Melihat foto itu, seolah membawa anganku pada kejadian 2 tahun lalu, di sebuah rumah sakit kawasan Jakarta Utara.
Saat itu, aku sedang menjaga ibuku yang sakit. Lalu, aku bertemu dengan ibu Rani, ibu dari lelaki yang menjadi penyebab tangisku belakangan ini. Ibu Rani, beliau adalah teman ibuku, karena itu, kami berbincang cukup lama meskipun baru pertama kali ku bertemu dengannya.
Awal mula, dari ceritaku bersama lelaki yang kini namanya ku selipkan dalam doaku.
Kala itu, ibu Rani meminta nomor ponselku, katanya, Ia menyukai ku, dan ingin mengenalkan ku pada putranya. Jika boleh memilih, sebenarnya aku tak ingin memberikannya. Tapi, atas dasar menghormati dan menghargai, aku memberikan nomor ponselku padanya.
Singkat cerita, berawal dari hal yang bisa dibilang perjodohan orangtua, aku menjadi semakin dekat dengan Adit. Tak banyak hal yang kami lakukan, hanya sebatas bertukar pesan melalui pesan singkat, dan kadang, kami menghabiskan waktu di rumahnya, bermain dengan adik-adiknya.
Adit memperlakukan ku dengan baik, tatapnya yang memberi teduh untuk jiwaku yang lelah, kata-katanya yang menenangkan bisingnya isi kepala. Semua itu, membuatku jatuh hati padanya. Hingga akhirnya, kami mengukuhkan janji untuk selalu bersama.
Bukan hanya sebatas berjanji menjalin kasih seperti sepasang remaja, namun kami, berjanji untuk mengukuhkan ikatan di hadapan sang Maha Pencipta.
Namun, hidup memang tidak ada yang sempurna. Seperti yang ku bilang tadi, Adit tiba-tiba menghilang selama satu minggu. Tanpa kabar, tanpa penjelasan.
Sibuk berkutat dengan kenangan masa lalu, dan belenggu hati, hingga akhirnya ku dengar ponselku berbunyi.
Satu panggilan masuk dari temanku, namanya Namora.
“Halo, Mow. Kenapa?”
Di ujung sana, ku dengar Namora seperti sedang sibuk berkutat dengan peralatan makan. “Nad, lo di rumah? Apa dimana?“
“Gue? Di rumah, lah? Ini kan hari Minggu?” Jawabku.
“Duh, itu cowok lo udah ngasih kabar belom?“
“Adit? Belom sih, gue chat juga engga dibales, telfon engga di angkat.”
Terdengar helaan nafas lelah dari Namora, yang membuatku semakin bingung, apa yang terjadi?
“Gue kirim alamatnya, abis itu lo langsung kesini ya. Cowok lo ada disini nih, sama cewek gue juga engga tau siapa.“