Catatan Luka

Detik demi detik berlalu, namun tak ada satu kata pun yang keluar. Padahal, aku sangat menantikan penjelasan, atas segala tangis dan tanyaku.

Jika kalian bertanya, apa yang terjadi? Tadi setelah Namora mengirimkan alamatnya, aku langsung bergegas menuju tempat itu. Hal yang pertama aku lihat adalah, Adit sedang tertawa lepas bersama seorang gadis yang sosoknya tak lagi asing bagiku.

Namanya Devina, aku pernah bertemu dengannya minggu lalu, saat aku dan Adit selesai mengurus keperluan pertunangan kami.

Dia gadis yang baik, dan sangat ramah. Hanya saja, saat itu aku sedang tidak memiliki suasana hati yang bagus. Sehingga, tak banyak yang ku bicarakan dengannya, menanggapi pertanyaannya pun, seperlunya saja.

Jujur, aku merasa bersalah karena hal itu.

Kamu tau engga, salah kamu apa?

Aku menatap heran ke arahnya, menunggu kalimat apa yang akan Ia lanjutkan. Karena jujur, aku tak mengerti apa yang Ia katakan.

Bukankah aku, yang harusnya menuntut penjelasan? Atas malam-malam yang kuhabiskan untuk bergelut dengan tanda tanya, dan tangisan tak berdasar.

Namun ini, ada apa?

“Bukannya aku ya, Dit, yang harusnya nuntut penjelasan dari kamu? Seminggu ngilang engga ada kabar, tau-tau aku liat kamu lagi berduaan sama Devina.”

Tak ada jawaban, namun tawa remeh, dan tatapan mengintimidasi yang ku dapatkan.

Tatap yang dulu ku cari, saat kalut melanda hati, kini tak ada lagi. Aku tau, mungkin aku dan dia masih belum lama, menulis cerita bersama, tapi apa yang ku dapat hari ini, tetap memberi luka.

Kamu sadar engga, sih? Kamu itu selalu bertingkah seolah engga ada yang salah, padahal selama ini, kamu sumber masalahnya,” ucapnya. Ia mencengkram kuat batang stirnya, seolah ingin menyalurkan amarah yang memuncak, namun tak bisa sepenuhnya dikeluarkan.

Hal itu membuatku bertanya, apa salahku sebesar itu? Demi Tuhan, jika memang aku salah, aku pasti akan merasa. Tapi, sebelum dia menghilang selama satu minggu, semua memang baik-baik saja. Lalu, kenapa?

Minggu lalu, waktu kita ketemu Devina, muka kamu tuh engga ngenakin banget. Bahkan Devina aja sadar, dia bilang sama aku asal kamu tau. Sumpah, aku ngerasa engga enak banget sama Devina karena itu.

Oh, wow. Jadi karena itu?

“Waktu itu aku lagi capek, Dit. Mood ku bener-bener engga bagus, makanya aku kaya males nanggepin Devina. Jujur, aku juga ngerasa engga enak karena hal itu. Tapi, apa karena itu kamu harus banget, ngilang selama seminggu? Seengganya kalau aku emang ada salah, ya kamu bilang. Jangan ngilang dan ninggalin aku tanpa penjelasan, kita bentar lagi tunangan, kalau kamu lupa.”

Sekali lagi, hanya tawa sarkas yang ku dapat. Hal ini membuatku berpikir, apa selama ini aku memang belum mengenalnya? Apa ini, sifat aslinya yang selama ini tertutup oleh topeng palsu?

Pertunangannya batal. Lagian, sebenernya mama, adek, sama keluarga aku juga engga suka sama kamu. Selama ini aku tahan aja biar kamu engga ngerasa kecil hati.

Kali ini, aku yang tertawa. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa yang menandakan, bahwa aku tak percaya, Ia berkata seperti itu.

Sejak awal, aku bahkan tidak meminta agar aku dan dia terjadi. Sejak awal, ibunya lah, yang menginginkan ini. Memujiku dengan 1001 cara, mengatakan bahwa aku calon menantu terbaik untuknya, hingga pembicaraan menuju arah yang lebih serius itu terjadi.

Sejak awal, mereka yang memulai. Lalu, kenapa malah sekarang, kesannya seperti aku yang selalu memohon agar segalanya terjadi?

Untuk pertama kali dalam hidupku, aku merasa, pertahanan diri yang sudah lama ku jaga, runtuh tak bersisa.

Ribuan janji yang terucap, senyum meyakinkan yang Ia ukir, kini rasanya hanya sebatas pertunjukan komedi.

Kamu lucu, Aditya.

Pasang seatbelt, aku anter kamu pulang. Abis ini engga usah temuin aku lag-

“Aku pulang sendiri aja engga apa-apa, Dit. Kamu engga perlu susah payah nganter aku pulang. Jujur aku kaget, sama sifat kamu yang kaya gini. Atau dari awal, emang aku ya, yang kurang kenal sama kamu?” Tanya ku. “It's fine, kalo kamu mau batalin semuanya. Tapi, seengganya, tolong nanti ajak keluarga kamu datang ke rumah, bilang baik-baik sama keluarga ku. Dari awal, kamu yang minta ini semua, bukan aku.”

Setelah mengatakan itu, aku segera membuka pintu mobilnya, dan pergi dari sana. Bohong, jika setelahnya aku tidak menangis. Aku merasa sangat dipermainkan, atau memang selama ini, niat Adit dan keluarganya, memang hanya untuk mengolokku saja?

Namun, apapun itu, meskipun hari ini aku merasakan sakit luar biasa, tapi aku tetap bersyukur. Tuhan masih menyayangiku, dengan menunjukkan sifat aslinya, sebelum segalanya berjalan lebih jauh.

Aku, pantas dapat yang terbaik, dan orang itu, jelas bukan seorang Aditya Klauzan.