Gerbong 8
Rumah, stasiun, kantor, begitu terus setiap harinya. Rutinitas ini membuatku lelah, terkadang, ingin rasanya melarikan diri, namun kebutuhan duniawi ini mengharuskan ku untuk terus melangkah.
Namun semenjak hari itu, saat pertama kalinya aku memutuskan untuk memasuki gerbong umum, bukan gerbong khusus wanita. Langkah kaki tak berat lagi, suasana hati tak lagi suram, rasanya seperti ada semangat baru. Seperti remaja yang baru jatuh cinta, bahkan hanya untuk pergi ke kantor saja, aku berusaha sekeras ini. Memilih baju mana yang cocok, memoles wajah, dan mendengarkan lagu kesukaan, guna lebih meningkatkan suasana hati.
Semuanya, karena lelaki ber-lanyard merah, dengan iPad di tangan kanan, dan botol minum di tangan kiri. Wajahnya sangat tenang, berbanding terbalik dengan orang-orang disekitarnya, yang sangat suram. Bayangkan saja, gerbong kereta yang penuh, ditambah bayang-bayang akan tugas yang menumpuk di tempat kerja, tak heran orang-orang ini berwajah muram.
Kaki yang terasa pegal, pengapnya udara di gerbong 8 ini, tak lagi terasa, semua berkat dia. Mungkin jika dia tahu, dia akan menganggapku orang aneh. Bagaimana tidak, diam-diam menatapnya, lalu tersenyum seperti orang tak waras. Sumpah, jika dilihat pasti sangat mengerikan.
“Engga turun?”
Apa? Barusan, Ia bertanya padaku?
“Mbak? Ini udah di Stasiun Tanah Abang.”
Demi Tuhan, dia benar berbicara padaku.
“Mbak?” Tanyanya lagi. Segera ku sadarkan diri, dan menghapus segala angan yang saat ini mengerubungi isi kepala. “Oh, engga. Ini, saya mau lanjut, kantor saya libur.”
Dia menatapku sejenak, lalu mengangguk dan berjalan keluar gerbong. Dia meninggalkanku, yang masih terdiam karena tak menyangka akan apa yang baru saja terjadi.
Cukup lama aku terdiam, hingga akhirnya kereta kembali berjalan. “EH ANJIR GUE HARUS TURUN WOY!”
Keesokan harinya, aku kembali menaiki kereta yang membawaku dari stasiun Sudimara menuju stasiun Tanah Abang. Harapanku membuncah, berkat kejadian kemarin. Aku merasa, jika apa yang terjadi kemarin, adalah suatu pertanda baik, jika aku dengannya memang akan berjalan lebih dari sekedar orang asing di gerbong kereta.
Namun, harap hanyalah harap. Hari itu, sosoknya tak lagi ku lihat. Begitu juga dengan keesokan harinya, dan besoknya, hingga akhirnya satu minggu berlalu. Sosok itu, hanya hidup dalam angan.
Jika kalian bertanya apa aku kecewa? Jawabannya tentu iya, bagaimana tidak, setelah diberi angan, yang menjadi pertanda bahwa harap ini akan menjadi nyata, tapi, nyatanya semua itu memang hanya boleh menjadi harap.
Sosok pemberi semangat itu tak lagi terlihat, dan aku, tak tahu harus mencarinya kemana. Karena sesungguhnya, dia memang hanya sebatas orang asing yang tak sengaja lewat di tengah keramaian.
“Nyari Tama, ya?”
Aku menoleh, untuk mendapati lelaki jangkung dengan wajah angkuhnya. “Orangnya sakit, tipes udah seminggu dirawat di rumah sakit.”
Apa, sih?
“Cowok yang suka lo liatin di gerbong 8, seminggu lalu masuk rumah sakit, makanya lo engga pernah liat lagi,” ucapnya. “Gue Darwin, yang suka naik gerbong 8 juga, bedanya, lo liatin dia, gue liatin lo.”
Oh, Shit.