Tentang Perpisahan
Masih teringat jelas jerit tangis dan tatap penuh duka, kala perlahan ia tersadar bahwa tangan ini tak mampu lagi mendekap raga sang tercinta.
Pijakan pada bumi seolah tak terasa karena kini, semua terhalang ruang dimensi. Sekuat tenaga berteriak, memberitahu bahwa diri ini masih ada memohon tatap. Tapi, suara yang dulu selalu disambut sapaan penuh bahagia kini tak dapat lagi di dengar olehnya.
Semua terjadi begitu saja dan tak disangka, seolah dihantam ribuan benda tajam kala puluhan pasang mata menatap sendu seolah menjadi gerbang pembuka, menuju hari-hari penuh pilu.
Ingin rasanya memohon untuk kembali, tapi Sang Pencipta sudah menuliskan bahwa tulisan pena di dunia fana itu hanya sampai disini.
Dan akhirnya, harus berpisah.
Harus pergi, meninggalkan. Harus ikhlas, merelakan. Harus tegar, saat suatu saat dilupakan. Harus siap, tergantikan.
Karena nyatanya, sedih itu bukan hanya milik mereka yang ditinggalkan saja. Tapi juga, milik mereka yang meninggalkan.
Dan hari ini, Alana Olivia Prambudi harus menelan pahit ketika garis takdir memintanya untuk berhenti menulis cerita.
Meninggalkan mereka yang terkasih, tanpa dekapan selamat tinggal semoga kita berjumpa lagi.
Mata itu menatap sendu ke arah Viola, gadis malang yang kini menangis sembari memeluk lututnya. Bergetar menahan takut dan rasa bersalah yang tak ada satu pun bisa bayangkan. “You're safe now, Vio.” Gumam Alana yang tentu saja tak bisa di dengar oleh Viola.
Mata itu beralih pada raga yang kini terpisah dari jiwanya, terkapar penuh luka. Menyaksikan diri sendiri dinyatakan telah pergi dan bersiap menjadi bagian dari kenangan.
Langkah kaki membawanya mendekat menuju raganya, tak ada yang dilakukan. Ia hanya memandang sendu dengan harap bahwa ini hanya mimpi.
“Lana?”
Suara itu, suara yang selalu menjadi kesukaannya. Suara yang ia harap akan selalu terdengar sebagai nada bahagia. Tapi kini memanggil namanya dengan getar penuh luka.
“Kala...”
“Udah mau jam lima, aku janjian sama dokternya kan jam lima. Bangun yuk, kamu udah janji mau temenin aku terapi...”
Tangan itu mengepal kuat sebagai bentuk rasa pilu karena sosok di depannya tak mampu lagi di dekap.
“Aku kan udah bilang, jangan kemana-mana kalau enggak sama aku. Aku kan udah bilang buat enggak kemana-mana, Lana. Kalau Lana pergi, Kala gimana...”
Dan saat itu, bukan hanya Arion Kalandra yang menangis. Alana pun menangis, tangis yang tak terdengar tapi mengandung luka yang sama dalam.
Rasanya ingin sekali berteriak kalau dirinya masih disini, tapi sekali lagi, segalanya kini telah berbeda.
Dan hari itu Kala tak tahu, jika sosok yang ia tangisi karena pergi dan tak kembali itu juga mendekapnya dalam tangis. Menggumam jutaan kata maaf atas pergi yang tak terduga.
Dear Kalandra,
Maaf karena udah pergi, terlebih tanpa bilang selamat tinggal. Tapi aku udah bilang, kan? Kalau suatu saat semua yang tinggal pasti akan pergi.
Jaga diri kamu baik-baik ya, makasih karena kamu aku bisa nutup bukuku dengan banyak kisah bahagia.
Aku ada titip hadiah buat kamu, semoga dia bisa jadi pelipur lara dan kasih kamu bahagia. Sampai nanti mungkin dia akan kamu kenalkan sama bunga yang baru.
Kamu enggak bisa liat aku lagi, tapi aku selalu jaga kamu dari sini. Makasih banyak buat doanya Kala, aku sayang kamu dan itu selalu.
- with love,
Alana.