It's always been You


Rintik hujan yang membasahi ibu kota sore ini, nampaknya mampu membuat suasana hatiku semakin buruk.

Dunia memang selucu itu, pagi tadi aku berangkat penuh semangat ke tempat kerjaku, namun dalam sekejap semangat dan bahagia itu musnah tanpa kata permisi. Disini, sekali lagi, aku percaya, manusia memang hanya bisa berencana, sisanya, Tuhan yang menentukan.

Ada hal-hal yang telah kita yakini pasti akan terjadi, namun nyatanya, kita harus menunggu lebih lama. Seperti saat ini, ku pikir pukul 5 sore aku sudah bisa pulang ke rumah, namun tangisan langit seperti menahanku untuk tinggal lebih lama di lobi gedung kantorku.

Tak banyak yang ku lakukan, hanya kegiatan membosankan namun tetap dilakukan, yaitu bermain ponsel. Melihat lini masa sosial media yang biasanya menyenangkan dan cukup menghibur, kali ini terasa membosankan. Aku hanya ingin pulang ke rumah, setelah hal buruk yang ku alami, apa sesulit itu?

“Kaleesha?” Ku angkat kepalaku untuk mengetahui sang pemilik suara. Seketika segala getar, harapan, dan buncahan rindu yang tertahan seolah ingin keluar secara bersamaan.

Pemilik mata coklat, senyum yang mampu membuatku merasakan arti bahagia karena mencinta dan tangis pilu saat terpaksa harus melihatnya pergi. Dia, yang dulu namanya pernah ku sebut dalam doa, dia yang selalu ku tatap diam-diam namun tak pernah berani ku sapa. Altair Jaiveer.

Altair memiliki makna bintang, sedangkan Jaiveer bermakna menang. Ku rasa, nama itu memang cocok untuknya, karena dia, telah berhasil menjadi bintang paling terang yang memenangkan perasaanku.

“Kal? You okay?” Tanya Javieer lagi, yang membuatku segera tersadar dari lamunan.

“Oh, hai!” Sapaku. Sejujurnya, aku sangat gugup, dan merasa aneh. Javieer, lelaki itu mengetahui namaku? Apa Ia selama ini mengenalku?

Ia tersenyum, senyum yang kembali meruntuhkan tembok pertahanan yang susah payah ku bangun. Meskipun, tak pernah berhasil untuk membuatnya berdiri kokoh. Entah karena aku yang tidak membangunnya dengan gigih, atau diri ini yang memang tidak ingin melepas bayang tentangnya.

“Boleh duduk?” Tanyanya, dan aku menganggukkan kepala. “Boleh.”

Tuhan, ini adalah hal yang ku impikan sejak dulu, duduk berhadapan dengannya. Setelah sekian lama, ternyata getarnya masih sama, gugupnya masih sama. Semua masih sama, sama sekali masih tersimpan rapi, untuk si pemilik senyum sehangat mentari.

“Gue ada meeting disini, di lantai 23. Baru aja selesai 10 menit yang lalu, pas mau ke basement malah ngeliat lo disini,” ucapnya.

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya. Kejadian ini masih sulit untuk ku cerna. Padahal, ada banyak hal yang kutanyakan padanya.

Kamu, apa kabar? Kamu, tahu namaku? Kenal aku? Bagaimana bisa? Kamu, apa masih dimiliki oleh si cantik, yang dulu selalu kamu tatap penuh rasa bahagia?

Pertanyaan-pertanyaan itu, seolah tertahan di bibirku. Terlalu takut untuk mengucap, terlalu gugup untuk menatap.

“Gue bawa mobil sih, Kal. Mau bareng gue aja, engga? Ini hujan kayanya bakal lama.”


“Yah, sama aja pulangnya lama. Macet banget ini,” ucap Javieer, sembari menatap jalanan yang dipenuhi kendaraan bermotor, yang entah mau pergi kemana. Mungkin, ada yang hendak pulang, bertemu orang tersayang, atau masih harus menempuh jarak untuk mencari lembaran kertas penyambung hidup, alias uang.

Jakarta sore hari, memang selalu menarik untuk diceritakan.

Oh, kalau kalian berkata bahwa aku menerima ajakan Javieer untuk pulang bersamanya, kalian tentu saja benar.

Entah apa yang membuatku menerima ajakannya. Apa karena spontanitas semata, atau memang rasa bahagia untuk bertemu sang pemilik hati setelah sekian lama.

“Lo daritadi diem aja, deh? Ngobrol dong, sombong amat sama temen kuliah sendiri.”

Perkataanya membuatku tertawa. Dasar Javieer bodoh, apa dia tidak tahu, kalau aku sedang sekuat tenaga menahan diri untuk tidak berteriak sekarang juga. “Aneh aja, Jav. Kok, lo bisa tau gue?”

Bisa kulihat dari ekor mataku, lelaki itu tersenyum. “Waktu itu hari pertama ospek kampus, semua mahasiswa dari semua fakultas di kumpulin di gymnasium. Terus, ada tuh, maba yang datengnya telat, terus dia datengnya ngendap-ngendap gitu,” ucap Javieer. “Dia tiba-tiba masuk barisan gue, terus gue denger anaknya bete karena coklatnya ketinggalan di kosan. Untung aja sih, hari itu gue bawa 2, jadi gue kasih satu ke dia, tapi engga langsung.”

“Terus, gimana?”

“Gue selipin di tasnya, lagian anaknya engga sadar juga, kan lagi sibuk nyari. Abis itu, dia nemuin coklat yang gue kasih, yang tadinya panik, langsung sumringah. Terus bilang gini, 'tuh kan, ini tuh nyelip doang, bukan ketinggalan,” lanjutnya. “Mau tau engga, namanya siapa?”

Aku tak menjawab, namun menatap balik matanya yang juga menatapku. “Kaleesha Maudy, mahasiswi Hubungan Internasional yang sekarang sih kayanya udah jadi mbak-mbak kantoran pemuja minyak angin.”

“Aku?” Tanyaku, yang tanpa sadar juga mengubah cara bicaraku.

Javieer kembali menghadapkan pandangannya ke arah jalan, lelaki itu tersenyum. “Gara-gara itu, gue ngepoin lo terus, Kal. Follow medsos lo pake second account, pura-pura nyamperin Davian ke lorong HI, padahal modus doang pengen liat lo. Tapi dasarnya gue cupu, gue engga pernah berani buat gerak lebih dari itu.”

Tubuhku seolah membeku, sekuat tenaga ku coba mencubit lenganku, untuk memastikan apa yang baru saja ku dengar ini memang nyata. “Tapi, bukannya lo sama Dina, ya? Pramudina Putri anak kedokteran gigi?”

She's my friend. How can I date her, if the one I love is you?”

Aku terdiam, sungguh, dunia ini benar-benar seperti pentas komedi. Ah, tepatnya hidupku yang seperti pentas komedi.

“Adanya lo kali, yang jadian sama Daffa angkatan 11.”

“Daffa Aurum? Kak Daffa?” Tanyaku, dan Ia mengangguk. “Dia emang pernah deketin gue, sih. Tapi engga pacaran.”

“Oh...”

Cukup lama kami saling terdiam, sampai akhirnya Ia kembali bertanya. “Kalau sekarang, gimana?”

Aku menatapnya, dan jika memang ini bukan hanya prasangka hatiku, matanya memang menatapku penuh harap. “Masih sendiri, Jav.”

Kulihat Ia tersenyum, senyum yang membuat angan dan harapku semakin melambung jauh. “Kenapa senyum?”

“Kalau aku gerak sekarang, masih boleh engga Kal?”

“Kamu inget engga? Waktu kamu mau tanding basket antar fakultas dulu, selesai tanding kamu pernah ketahan di stadion karena hujan. Padahal disitu kamu mau buru-buru pulang, soalnya jemput mama kamu di bandara.” Ucapku. “Kalau kamu inget, ada yang naruh payung sama jaket deket tas kamu.”

It's you?”

Aku mengangguk, ku tarik nafas dalam. Meskipun aku tak yakin bahwa apa yang akan ku lakukan ini berbuah baik, namun setidaknya, biarpun hatiku akan dipatahkan, biarlah terjadi. Tak apa, patah hati dan harus menunggu lama bukan hal baru bagiku, kan?

“Gue dulu naksir lo, Jav.”

“Kalau sekarang?”

“*It's always been you, Javieer.”

Ku lihat Ia tersenyum, senyum paling tulus yang pernah ku lihat dari wajahnya. Anganku semakin melambung jauh, dalam hati terus merapal doa, agar apa yang ku duga akan terjadi bukan sekedar angan belaka.

Should we give it a try?”

Aku tersenyum. “Of course.”

Tuhan, terima kasih telah membawanya pulang dengan bahagia. Kedepannya, tolong jaga kami, agar bahagia ini tetap terjaga rapi pada tempatnya.