Karena Luka Itu Cuma Kala yang Rasa
Cowok juga manusia, Kala. Manusia itu boleh capek, boleh nangis. Kalau sekarang kamu sedih, nangis aja yang banyak enggak apa-apa. Aku disini.
Kala mengulas senyum tipis tatkala ingatan itu melintas di kepalanya. Matanya menatap lurus kosan Alana yang dulu, selalu jadi tempat yang Kala datengin. Entah buat nugas atau sekedar main. Sekarang tempat itu cuma bisa Kala pandang dari luar aja, tempat yang Kala kunjungi kalau Kala kangen Alana.
“Semua orang selalu bilang jangan sedih, enggak boleh sedih, cuma kamu yang bilang ke aku kalau aku boleh sedih sebanyak yang aku mau, Na.”
Kala nyenderin kepalanya di gagang stir, hari ini rasanya capek banget. Jujur, kalau boleh bilang, akhir-akhir ini hidup buat Kala cuma sebatas formalitas karena emang belum dipanggil Tuhan. Meskipun adanya Lucy bikin Kala seolah punya harapan, tapi waktu kaki udah enggak sanggup buat melangkah, apapun alat bantunya, melangkah itu rasanya tetep berat.
“Sampai hari ini rasanya masih kayak mimpi tau, Na. Rasanya aneh liat orang-orang di sekitarku ngelakuin semua kegiatan kayak biasa, sedangkan aku disini rasanya kayak jalan di atas kaca retak,” gumam Kala. “Aku kalau lagi capek, selalu ada kamu yang denger semua sambatan aku. Rasanya selalu tenang karena aku pikir, ada Alana. Aku berani buat nangis kenceng karena aku tau ada kamu yang peluk aku. Sekarang kamunya pergi aku harus gimana ya, Na?”
Bertingkah seolah Alana ada di sampingnya kayak biasa, Kala cerita ini itu, menganggap kalau Alana denger semua yang dia bilang.
“Kalau itu bukan kamu, aku enggak tau harus gimana lagi, Na. Aku terlalu bergantung sama kamu sampai di titik aku lupa kalau kamu juga manusia yang punya rasa capek. Tapi aku enggak tau harus lari kemana kalau enggak ke kamu. Sekarang kamu enggak disini, aku bingung.”
Dan sama seperti malam-malam sebelumnya, malam itu juga Kala habiskan buat nangis di dalam mobilnya.
Ada alasan kenapa Kala lebih nyaman nangis sendirian dibanding ada temen di sampingnya, karena waktu nangis sendiri rasanya lebih aman. Kala bisa bebas nangis tanpa ada rasa dikasihani, selama ini tatapan itu yang orang-orang kasih ke Kala. Percaya deh, ditatap kayak gitu sama orang tuh enggak enak. Rasanya tuh kayak berdiri di ujung jurang terus di dorong sampai jatuh ke dasar jurang.
“Lana, aku enggak bisa berdiri lagi aku harus gimana? Pake topeng tiap hari tuh susah aku harus gimana...”
Karena luka itu cuma Kala yang tau gimana rasanya, enggak akan ada yang ngerti karena enggak ngalamin sendiri.
Dan Kala, udah ngerasa di puncak lelahnya.