L'Amour Éternel
Sebuah catatan dari aku, yang pernah kau janjikan untuk mengarungi kerasnya hidup bersama.
“Nanti, kalau kamu udah 20 tahun, kita nikah, ya?“
Mengingat kembali hari dimana kamu mengatakannya, membuatku tersenyum. Namun, bukan senyum bahagia kala aku mendengar kalimat itu, tapi senyum penuh duka, karena aku tahu, itu semua tak akan pernah terwujud.
Cincin yang kamu beri hari itu, masih setia melingkar di jariku. Sebagai tanda, bahwa meskipun waktu telah berlalu, namun apa yang ku punya untukmu, masih tetap ku jaga dengan baik.
Si pemilik senyum manis yang memiliki kegemaran terhadap kendaraan bermotor roda dua itu, selalu memiliki ribuan cara untuk memberi sensasi bahagia.
Dia, yang selalu menghargai apapun yang aku lakukan, tertawa pada setiap candaanku, dan tangannya yang selalu setia mendekap, kala raga ini tak mampu menumpu kerasnya beban dunia.
Dia, selalu istimewa, dan sangat berharga.
3 tahun yang yang kuhabiskan bersama Ian, tak pernah tak bahagia. Meskipun terkadang, ada gundah yang menyesakkan jiwa, saat Ia pergi bersama motor kesayangannya.
Iya, Ian termasuk salah satu yang hobi berpacu dengan kendaraan bermotor roda dua. Mungkin, menurutnya hal itu menyenangkan, tapi bagiku, cukup membuat susah tidur kala membayangkannya.
Kue ulang tahun, kado, dan surat berisikan ucapan selamat atas tercapainya satu babak baru dalam hidup, untuk dia yang ku sayangi.
Hari ini, hari ulang tahun Ian yang ke-18. Aku, sudah menyiapkan kejutan untuknya. Tahun pertama memasuki usia legal, memang sudah sepatutnya dirayakan lebih spesial, bukan?
Iya, harusnya seperti itu, yang aku ingin dan rencanakan, memang begitu. Tapi Tuhan, nampaknya tak ingin itu terjadi.
Rasanya seperti disengat ribuan lebah beracun, dijatuhkan ke lubang yang sangat gelap dan dalam, sampai rasanya untuk bernafas saja sulit.
“Ian kecelakaan, Ray. Ian udah pulang ke rumah Tuhan.“
Jika saja aku memiliki kekuatan super, untuk mengetahui apa yang terjadi, sudah pasti ku dekap erat raganya, agar tak hilang dari sisiku.
Kehilangan orang yang tersayang, apapun kondisinya, bukanlah suatu hal yang menyenangkan. Tidak ada hal yang bagus dari perpisahan tanpa ucapan selamat tinggal. Kalau pun, aku bisa mengucapkan selamat tinggal dan memeluknya untuk yang terakhir, sudah pasti tak akan pernah ku lepas.
Aku masih ingat, air mata penuh luka yang mengalir di pipiku hari itu. Aku masih bisa mendengar, jerit histeris orang-orang terdekatnya, saat melihat raga itu tertidur, dengan wajah pucat dan kain putih yang menyelimuti.
Mereka bilang, dunia ini memang terlalu kejam untuk jiwa-jiwa yang indah, sehingga kadang, Tuhan memanggil mereka pulang lebih dulu. Tapi Tuhan, kenapa jiwanya yang harus Kau ambil? Kenapa belahan jiwaku yang harus Kau panggil pulang?
Dia, yang seharusnya disini bersamaku. Bersama meraih cita, demi mewujudkan cinta di kehidupan yang akan datang. Aku dan dia, telah berjanji, Tuhan, kenapa? Kenapa Kau malah memanggilnya?
Seusai itu, tatkala ku lihat raga itu terbaring, dan menyatu dengan bumi, segala sesuatu yang seharusnya indah, kini tak lagi sama.
Segala sesuatu yang seharusnya menyenangkan, kini tak lagi menemukan makna bahagianya. Tak ada lagi tawa, tak ada lagi binar bahagia, semua hilang, bersamaan dengan jiwanya yang telah melangkah menuju keabadian.
Bertahun ku jalani penuh duka, rasanya hampa. Seperti raga yang sudah tak berjiwa, namun terus berjalan hanya karena Tuhan belum memberikan ajakan untuk pulang.
Hingga akhirnya, hari itu datang, hari ulang tahunku yang ke-20, dimana seharusnya, di usia ini, aku dan dia mengukuhkan janji sehidup semati.
Tanganku mengusap batu nisan itu, dimana namamu tertulis sebagai tanda, bahwa raga dan jiwamu telah damai di sisi-Nya.
Kamu tahu, Ian? Aku bahkan berdandan layaknya seorang pengantin, agar disana kamu lihat, bahwa aku, masih menunggumu. Aku, mencintaimu dan itu sungguh.
“Aku engga suka ada disini tapi engga ada kamu, Ian. Aku mau ikut kamu, boleh, ya?“
Kalimat itu terucap begitu mulus dari bibirku. Ada nada lelah, dan ingin menyerah saat aku mengatakannya, namun aku tak main-main, itu sungguh.
Berjam-jam ku habiskan untuk menangis di atas tempat persemayamannya yang terakhir, berkecamuk duka dan rasa putus asa.
Keinginan itu begitu kuat, karena yang ada dalam benakku, hanya Ian. Terdengar menyedihkan, namun itu nyatanya.
Hingga akhirnya aku tertidur, di atas pusaranya. Menyandarkan kepalaku di atas batu nisan, dengan air mata yang mengering tanpa diusap.
Seketika setelah aku menutup mata, aku melihatnya, Caspian, dia ada disana.
Mengulas senyum yang sekian lama ku rindukan, memberi tatapan penuh cinta, yang selalu berhasil menyejukkan jiwa, dan membawa kembali sejuta cinta dan kenangan yang Ia bawa pergi, bersama raganya yang kini damai bersama bumi.
Tubuhku terasa kaku, jangankan untuk mengucap kata, menangis dan melangkah pun, rasanya tak kuasa. Hingga perlahan, raga itu mendekat, memberi senyum terindahnya untukku.
“Ray, tetap hidup, ya? Aku kan engga kemana-mana. Selama kamu hidup, aku akan terus ada di hati dan pikiran kamu. Bahagia, ya?“
It's like an echo. His whisper through my ear, but after that, he disappeared. And when I woke up, cloud is dark, the wind has blown, like the universe says, that he always here.
Dengan itu, aku tersenyum. Menatap langit, yang mana aku yakin, seperti dia yang hadir di mimpiku, saat ini, Ia ada disana. Menatapku dengan teduh, menjagaku dalam damai.
Segalanya tak akan jadi langsung mudah, prosesku untuk benar-benar bangkit dan menghilangkan segala rasa, untuk pergi ke tempatnya, memang tak mudah untuk sirna.
Namun perlahan, tapi pasti. Aku, mencoba terus berdiri. Seperti yang Ian katakan padaku, dia ingin aku bahagia. Meraih segala mimpi yang ku punya, melanjutkan hidup tanpa beban yang menyesakkan dada. Dan pastinya, dengan doa yang selalu ku ucap untuknya, agar senantiasa tenang dan bahagia dalam lindungan-Nya.
Untukmu, Caspian Nicholas Putera, terima kasih, atas 4 tahun terindah di dalam hidupku.
Kehadiranmu dalam hidupku, seperti suatu keajaiban, dan kepergianmu ke tempat yang tak dapat lagi ku jamah, bagai hantaman benda tajam yang memberi luka dalam.
Tapi Ian, tak ada satu detikmu ku rasakan penyesalan karena mengenalmu. Mengenal, dan memiliki jiwa seperti mu dalam hidupku, adalah anugerah.
Caspian itu, menyenangkan. Memiliki seseorang seperti Caspian, sangat menyenangkan.
Selamat beristirahat, cinta abadiku. Doa ku, akan selalu mengalir untukmu. Meskipun ragamu tak lagi dapat ku dekap, namun ceritamu yang ku tulis dalam karyaku, akan membuatmu tetap hidup, abadi selamanya. Begitulah, bagaimana aku, menemukan arti selamanya untuk kita.
Sampai saatnya kita bertemu lagi, dan ragamu dapat ku dekap lagi, tolong jaga aku dari tempat terdamai dimana kamu berada.
Satu lagi, untuk kalimat yang seharusnya ku ucap padamu hari itu, selamat ulang tahun, Caspian.
Terima kasih, Caspian. Tertanda, aku yang selalu mencintaimu dalam senyap, Raya.
I’ll remember your name Even when time passes and I become an adult I’ll keep you safe 'Cause you'll be in my heart Yes, you'll be in my heart From this day on Now and forever more You'll be in my heart No matter what they say You'll be here in my heart Always