November Rain

Chapter 1 : Kaset Kenangan Itu, Terbuka Kembali.

20 Nopember 2021, hari dimana aku, kembali membuka seluruh memori yang lahir di tahun 2011.

Kala itu, cat temboknya berwarna hijau muda, lapangannya masih terdapat rumput liar, dan terdapat cermin di depan perpustakaan. Namun hari ini, semua sudah berubah. Temboknya tal lagi berwarna hijau muda, tak ada lagi rumput liar, tak ada lagi cermin di depan perpustakaan, dan tak ada lagi, sosok yang menjadi sumber senyum Medina Archelli, di masa putih abu-abu.

Satu hal yang membawaku kembali ke tempat ini, sejujurnya hanya karena aku rindu sekolah. Rindu melihat bangunannya, rindu suasananya, dan rindu mereka yang dulu ada disini bersamaku.

Putih abu-abu bagiku bukan hanya sekedar masa sekolah, lebih dari itu, ada banyak kenangan, suka bahagia, hingga duka.

Duduk di bawah pohon, yang ada di taman baca, membawaku kembali ke masa dimana aku mengagumi laki-laki itu dari jauh. Dia, yang sosoknya pertama kali ku lihat saat datang terlambat, bersama sepeda fixienya. Namanya, Marvel. Ardio Marvel Rezzasa.

Si pencuri hati, yang enggan menyisakan ruang di hatinya pada gadis itu.

Masa dimana aku mengaguminya dari jauh, berpura-pura kesal atas candanya padaku, melihat akun sosial medianya, hanya untuk memastikan tak ada hati yang harus Ia jaga. Mengingatnya saja, membuatku tersenyum seperti orang tak waras.

Antara aku dan Marvel, memang tidak bisa dibilang spesial. Bagaimana aku menyukainya saja, hanya aku dan Tuhan yang tau. Kami hanya sekedar mengenal satu sama lain, namun tak ada interaksi yang berarti.

Ada, tapi hanya sedikit. Dulu aku punya teman laki-laki, namanya Meraja. Marvel bilang, nama kami mirip, sehingga Ia kerap kali menukar namaku dan Meraja. Memanggil kami si kembar, sambil tertawa yang membuatku berdebar, namun yang pasti, dia tak tahu itu.

Itu saja, hanya itu kenangan yang kumiliki dengannya. Berarti bagiku, namun tidak dengannya. Kala itu, aku bahkan sempat punya hati lain untuk ku jaga, yang tadinya, aku pikir menjadi pertanda, bahwa perasaanku terhadap Marvel telah sirna. Namun ternyata, menghapus eksistensi Marvel di dalam hatiku tidak semudah itu.

Waktu terus bergulir, kegiatanku mengaguminya dari jauh masih terus berlanjut. Hingga akhirnya, hari itu aku harus pindah sekolah ke luar kota. Rasanya sedih harus meninggalkan tempat ini, meninggalkan kenangannya, meninggalkan Marvel.

Hingga pada akhirnya, masa putih abu-abuku berakhir. Sampai saat itu, Marvel masih ada di dalamnya, meskipun tak sekuat dulu. Aku melanjutkan studiku, di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Menjalani hari tanpa seragam putih abu, menyandang status baru sebagai mahasiswi.

Jika kalian bertanya, apakah aku masih menaruh rasa terhadap si pengendara sepeda fixie, jawabannya iya, namun tak sekuat dulu.

Lalu, hari itu tiba, hari dimana terdapat notifikasi pesan dari aplikasi instagramku. Pesan, dari nama yang sudah tidak pernah aku dengar, pemilik wajah yang tampaknya sudah lama tak terlihat, dan penguasa hati, yang eksistensinya ingin ku ganti, namun menolak untuk pergi.

Karena pesan singkat itu, getar yang telah cukup lama sirna, kini kembali terasa. Sensasi buncahan bahagia yang seolah ingin meledak, kembali memenuhi rongga dada. Juga senyum, yang menyimpan ribuan puja untuk sang pemilik hati, kini kembali terukir.


Med, masih inget gue, engga?

Itu kalimat yang Marvel kirimkan padaku, melalui akun instagramnya. Aku memang pernah mengikuti akun instagramnya, tapi tak pernah ada interaksi disana. Ini, kali pertama kami berinteraksi.

Berawal dari pesan itu, obrolan kami berlanjut lebih jauh. Sebetulnya, bukan hal yang penting, hanya hal-hal konyol, dan kilas balik ke masa kami berstatus sebagai murid SMA.

Namun hal itu, tetap menyenangkan bagiku. Selalu ada hal, yang membuat kami memiliki alasan, bahwa pembicaraan tak penting ini wajib dilanjutkan.

Marvel membuatku merasa bahwa apa yang ku punya untuknya, kini tak lagi sia-sia. Dia membuatku merasa, perasaanku, akhirnya terbalas.

Berawal dari pesan tak bermakna, hingga lama kelamaan, kami rutin bertukar cerita. Tentang apa yang aku dan dia alami hari ini, tentang apa yang membuat bahagia, dan tentang bagaimana, ucapan selamat malam itu, menjadi bekal penghias mimpi.

Kegiatan menonton film di bioskop, mengunjungi kafe bertata ruang unik hanya untuk berfoto, mengelilingi Bandung sembari mendengarkan lagu kesukaan yang terputar di radio, menjadi alasan kuat, tentang apa yang aku dan Marvel punya, nyata adanya.

Meskipun setelah sekian lama, tak ada pernyataan rasa yang terungkap. Tak ada pengukuhan janji, akan senyum yang Ia torehkan.

Hingga detik-detik menuju kelulusan datang, aku dan dia jadi jarang bertemu. Jangankan bertemu, untuk saling bertukar sapa dan cerita melalui pesan singkat saja, rasanya tak bisa. Entah apa yang membuat semua tiba-tiba berhenti, namun nyatanya, itu yang terjadi.

Lalu, hari itu Marvel datang lagi, membawa sejuta senyum seolah tak ada yang terjadi. Ia berjanji akan datang ke acara wisudaku, namun, nyatanya Ia ingkar.

Marvel, selalu seperti itu. Ia datang membawa sejuta senyum dan harap, menghilang tanpa penjelasan, yang membuatku bertanya, apa salahku? Tapi, nanti dia pasti kembali lagi, tanpa ada penjelasan yang terucap.

Dan aku, sudah pasti, menerimanya kembali, tanpa menuntut penjelasan.