November Rain

Chapter 2 : Terima kasih untuk segala kenangan, izinkan aku menyimpannya, meskipun sesungguhnya tak pernah tercipta.

Berada di sekolah ini, membuatku kembali mengingat segala kenangan itu. Meskipun, apa yang ku lukis bersamanya, tak terjadi disini.

Marvel membuatku merasakan bagaimana bahagia atas cinta yang terbalas, meski tak pernah terungkap.

Marvel membuatku tenggelam dalam gelisah, untuk mencari jawaban yang sebetulnya tak pernah tercipta.

Marvel membuatku ragu, akan apa yang kita punya. Apa ini nyata, atau hanya khayalanku saja? Tapi, ketika ku coba untuk membuka cerita baru, sosoknya kembali hadir, menyemaikan kembali cinta yang hampir hilang, membangkitkan kembali mimpi yang semula patah.

Hingga tiap kali aku ingin membuka pintu untuk kisah yang baru, aku selalu merasa ragu. Karena ku pikir, ini tidak benar. Karena Marvel pasti masih ada disana, Marvel pasti kembali lagi, dengan kepastian yang ku ingini. Meskipun kenyataannya, semua itu hanya sebatas fatamorgana.

Aku memejamkan mata, merasakan angin yang berhembus, mendengar suara dari anak-anak yang tengah melakukan kegiatannya, dan kembali membuka mata, kala aku melihat Ia berdiri di depanku.

Ardio Marvel Rezzasa, Ia ada disana. Ia menatapku, dengan sorot mata penuh rindu. Bohong jika aku tidak merasa gugup, ini pertemuan pertama kami setelah sekian lama tak saling bertukar kabar.

Hal paling lucu, kenapa dia muncul disaat aku baru saja memutar ulang kenangan tentangnya?

Aku ingin berdiri, dan pergi dari sini. Namun, itu akan terlihat aneh, bukan?

Detik selanjutnya, ku lihat raga itu mendekat, duduk di sampingku. Ingin sekali aku menyapanya, hanya sekedar untuk tahu, apa yang Ia lakukan disini? Hanya pertanyaan sederhana seperti itu, harusnya tidak masalah, kan?

Namun lidahku kelu, ingin beranjak pun, kaki terasa kaku. Sial, aku benci situasi seperti ini.

Hari ini hari Sabtu, sehingga sekolah cukup sepi. Hanya ada beberapa murid yang melakukan kegiatan ekstrakulikuler, apa Marvel disini untuk menjemput adiknya, ya? Setahuku, dia memang punya seorang adik perempuan.

Cukup lama kami terdiam, tak ada yang berbicara. Hanya memandang ke arah lapangan, yang dulu menyimpan banyak cerita. Bukan cerita tentang kami, tapi masing-masing dari kami, memiliki kenangan tersendiri disana.

“Abang Marvel!”

Ah, benar. Marvel disini untuk menjemput adiknya. Sesaat setelah adiknya memanggil, Marvel berdiri. Ku kira, dia akan pergi begitu saja. Terlihat seperti seorang yang brengsek, namun perilakunya yang seperti itu, tak pernah bisa membuatku membencinya.

Namun, perkiraanku salah.

Saat hendak pergi, Ia menolehkan kepalanya padaku. “Maaf, Med. Gue minta maaf.”

Selanjutnya, Ia kembali berjalan. Menghampiri adiknya, dan perlahan menghilang dari pandanganku.

Meninggalkan tanya, yang kini sudah menemukan jawaban.

Meskipun Marvel hanya mengucap maaf yang singkat. Namun aku tau, dibalik itu, ada ketulusan.

Dibalik pandangan sendu itu, Marvel sudah cukup menjelaskan, bahwa aku dan dia, memang tidak bisa menjadi satu. Meminta maaf, atas segala harap yang Ia berikan, namun tak kunjung memberi kepastian.

Dibalik senyum tipis itu, Marvel menegaskan, bahwa tak ada lagi yang harus ku tunggu. Segala tanya yang bersarang di kepala, tentang mengapa Ia pergi tanpa alasan, dan datang kembali tanpa penjelasan, sudah tak perlu lagi ku pikirkan.

Dibalik punggung yang kian menjauh itu, Marvel sedang mencoba meyakinkanku, bahwa kini, Ia benar-benar pergi.

Segalanya kini sudah jelas, segala tanya dan perjalanan yang ku kira tanpa tujuan, kini sudah menemukan arah untuk terus melangkah.

Untukmu, Ardio Marvel Rezzasa, terima kasih. Terima kasih, karena membuatku merasa apa yang ku punya, tak kurasakan seorang diri. Hingga saatnya nanti, raga dan hatimu sudah dimiliki oleh dia, yang memenangkannya, tetaplah sehat, dan bahagia.

Aku, akan selalu berdoa yang terbaik untukmu.

Sekarang, aku akan melangkah dengan lega. Namun segala tentangmu, akan selalu tersimpan dalam jiwa.

Tertanda, dari cinta yang tak pernah terucap, dan kepastian kisah yang tak pernah terwujud. Aku, Medina Archelli, dengan sungguh, pernah mencintaimu.

Ingatlah, bahwa kita bertemu, dan resmi berpisah di bulan Nopember.

Life is full of sweet mistakes And love's an honest one to make Time leaves no fruit on the tree But you're gonna live forever in me I guarantee, it's just meant to be...