Prom Night


Tiga tahunku bersama Marco Elqian Lazuardi, seolah mengalami puncak cerita di malam ini.

Jika kalian bertanya apa hubunganku dengannya, jawabannya kami hanya sebatas teman.

Teman tapi saling menyimpan gundah saat salah satu jauh dari jangkauan. Teman tapi menaruh rasa cemburu. Teman tapi saling berkirim emoticon hati. Teman yang saling menyimpan rasa tapi enggan mengukuhkan janji pasti.

Ah, untuk bagian terakhir, aku tidak tahu. Mungkin hanya aku yang menyimpan rasa, karena sikap Marco sungguh tak terduga.

Terkadang ia membuat jutaan bunga memenuhi rongga dada, tapi terkadang ia juga seolah menyadarkanku kalau nyatanya kami hanya sebatas teman sekolah.

Ada banyak hati penuh cinta yang datang untuk mengisi ruang kosong di hatiku, tapi itu semua tak berarti karena hanya Marco yang ku izinkan singgah disini.

Seperti yang terulis indah pada lagu Ku Kira Kau Rumah milik Amigdala, kau yang singgah tapi tak sungguh. Itu lah Marco.

Aku, dengan bodohnya tak peduli. Bibir ini masih mengukir senyum termanis saat sosoknya menyapaku. Mata ini masih setia mengedarkan pandang, saat sosoknya ku cari di tengah keramian. Jari ini pun, masih setia membalas rentetan pesan yang ia kirim dan menciptakan ledakan kembang api di hatiku.

Marco, sebetulnya apa yang kamu perbuat sehingga membuatku seperti ini? Apakah segala sikapku menimbulkan efek yang sama padamu?

Entahlah, tapi malam ini semua akan terjawab. Kapal penantian yang berlayar tanpa kepastian selama tiga tahunku bersamanya, akan menemukan tempat berlabuhnya hari ini.

Itu harapku, hanya harapku. Karena nyatanya, sosok itu menghilang meninggalkanku di tengah keramaian.

Awalnya ku kira ia hanya berkumpul dengan teman-temannya atau pergi ke toilet. Tapi hingga acara selesai, ia tak kembali. Marco meninggalkanku tanpa pamit dan penjelasan.

Aku mengirimnya pesan, bahkan menelfonnya. Karena aku butuh tahu, apa yang membuatnya pergi secara tiba-tiba.

Tapi, tanyaku tak terjawab.

Tak ada pesan yang terbalas.

Ku tunggu hingga esok hari, esoknya lagi, esok lagi, tapi hingga lima tahun berlalu, tak ada balasan yang ku terima.

Lima tahun ku habiskan penuh tanya. Ada apa, Marco? Apa aku berbuat salah? Apa kucingmu melahirkan lagi? Ada apa? Tapi tak peduli sekeras apa aku berusaha mencari jawabnya, tetap tak bisa ku temukan.

Sampai akhirnya aku sadar, bahwa ruang kosong tanpa jawaban itu adalah jawabannya. Jawaban yang memberitahu, bahwa sudah saatnya bendera pertahanan ini ku lepaskan. Segala rasa dan kenangan yang pernah ada, sudah saatnya ku biarkan berlayar sendiri.

Tapi, saat hatiku sudah memantapkan diri untuk melepas, ia kembali hadir. Membalas pesan yang jawabnya sudah tak ingin lagi ku dengar.

Dan hatiku, kembali memberinya ruang untuk masuk.

Apa ini pertanda akan adanya kisah baru yang bahagia atau malah sebaliknya? Entah, jawabannya hanya akan ku ketahui setelah lika liku jalannya ku lalui.

Halo lagi, Marco.