glitzmarshmallow

Tak peduli sejauh apapun aku melangkah, jalan yang ku tuju, selalu mengarah padamu


Malam-malam yang ku penuhi dengan isak tangis, kini sudah menemukan titik terangnya. Meskipun aku yakin, Ia sepenuhnya sadar akan apa yang ku punya untuknya, namun keinginan hati untuk mengungkapkan dalam untaian kata, tetap akan ku lakukan.

Bohong, jika saat itu aku tak mengharapkan timbal balik atas apa yang ku lakukan. Meskipun saat itu juga aku tahu, bahwa sosok yang lebih dulu mengisi hatinya, masih berdiri tegak disana.

Ku kumpulkan keberanian dalam diri, mencoba berdiri tegak di atas puing pecahan hati yang rapuh, hanya untuk menyampaikan maksud hati pada si pemberi bahagia. Aku berjanji, jikalau benar sang pencuri hati masih enggan memberikan hatinya, aku akan pergi.

Tak akan lagi ku buka buku kenanganku dengannya, dan aku akan melangkah seraya membangun kembali dinding pertahanan jiwa yang sudah hancur tak bersisa. Hingga nantinya, tak ada lagi yang memberi luka.

Raf,” panggilku. “*Aku engga akan basa basi, karena semakin lama aku ngomong, rasanya semakin sesak. Aku suka kamu, Rafa. Semua hal yang kita lakuin bareng, semua chat yang aku kirim buat aku, bikin aku engga bisa berhenti mikirin kamu, dan nganggap, kalau kamu juga punya hal yang sama buat aku. Meskipun nyatanya, masih ada Kaluna yang jadi segalanya kamu. Bohong kalau aku engga berharap apa-apa setelah bilang ini ke kamu, Raf. Meskipun di sisi lain aku juga tau, apa yang aku harap, engga akan bisa kamu kasih. Abis ini, aku engga akan ganggu kamu lagi, tapi sebelum aku pergi, meskipun sampe detik ini semua masih tentang kamu, tapi kamu jahat Raf. Selamat ya, karena kamu berhasil bawa aku terbang tinggi, padahal aku takut ketinggian. Setelah aku percaya kalau terbang tinggi engga seburuk itu, kamu bikin aku jatuh ke dasar tanah. Bener-bener dibuat jatuh sampe rasanya, natap langit lagi pun aku engga sanggup.*”

Ku ingat jelas, saat itu, setelah semuanya ku katakan, ada sesak yang memenuhi rongga dada. Namun, terselip rasa lega, karena akhirnya Ia tahu apa yang menjadi pengganggu tidurku.

Tak ada hal indah yang terjadi setelah itu, bahkan sekedar pelukan terakhir, sebagai penyambut hari-hari penuh rindu pun, tak pernah ku dapat.

Setelahnya, Ia mengirim pesan padaku. Pesan yang berisi ucapan terima kasih atas pernyataan cintaku untuknya, namun tak ada kata maaf yang tertera. Ia bilang, meskipun aku menganggapnya tokoh jahat dalam ceritaku, namun Ia dengan sungguh, akan selalu mendoakan yang terbaik untukku.

Terakhir, ada ucapan selamat tinggal, yang menandakan bahwa aku dan dia resmi berakhir. Meskipun, sebelumnya cerita ini belum dimulai.

Ku kira, itu memang berakhir, namun nyatanya, disinilah aku sekarang. Termenung menatapnya yang berdiri di hadapanku, menahan buncahan rindu yang begitu keras ingin mendekap sang pelukis cerita. Berusaha tegar, menerima kenyataan, bahwa hingga detik ini, hanya aku yang masih menjaga ruang kenangan itu agar tetap tersimpan rapi di tempatnya.

PT. Mediatech Indonesia, Junior Back End Developper Setidaknya, itu yang bisa ku lihat di lanyard yang menggantung di bajunya. Tak ada yang kami ucap, entah itu sapaan, atau sekedar basa basi.

Aku menatapnya penuh rindu, dan dia menatapku kosong, seakan eksistensiku memang tak seberharga itu. Hingga akhirnya, Ia berbalik dan menjauh, meninggalkan ragaku yang masih membeku, dan air mata yang mengalir deras tanpa permisi.

Di tengah keramaian ini, aku sendiri. Menatap raga yang kucintai kian menjauh, menghempaskan kembali, jiwa yang sebelumnya sudah terjatuh.

Rafa, ini mungkin kali terakhirku berkata meskipun kamu tak bisa mendengarnya. Setelah semua yang kita lalui, rasaku masih untukmu. Meskipun aku tahu jiwa dan ragamu tak mungkin ku miliki, rasa ini akan terus untukmu, sampai akhirnya lelah menghampiri, dan ruang kenangan itu hancur dimakan waktu.

Tuhan, dulu, sosok itu pernah berjanji agar aku selalu bahagia, dan dapat menemukan penggantinya. Tolong kabulkan doanya, Tuhan. Karena raga yang berpura-pura kuat ini, rasanya sangat berat, menopang pedihnya kasih tak terbalas.


Meskipun tak mungkin lagi, 'Tuk menjadi pasanganku, Namun ku yakini cinta, kau kekasih hati

Tak peduli sejauh apapun aku melangkah, jalan yang ku tuju, selalu mengarah padamu


Ribuan malam yang ku habiskan dengan membaca pesan singkat darinya, tak pernah tak menyenangkan. Si pecinta Mie Sedap itu, selalu memiliki banyak cara, untuk membuat detak jantung ini, berpacu lebih cepat dari yang seharusnya.

Dari sekian banyaknya film yang kami saksikan bersama, dari banyaknya lagu yang selalu mengingatkanku tentangnya, semua menyenangkan. Setelah semua hal yang kami lalui bersama, aku selalu mengira, bahwa apa yang kami punya adalah nyata.

Senyumnya, tatapan hangatnya, perlakuan manisnya, ku kira, dia melakukannya padaku, karena itu memang aku. Aku yang mencuri hatinya, aku yang menjadi pemegang tahta tertinggi dalam relung jiwanya. Namun nyatanya, tidak begitu.

Jauh di dalam lubuk hatinya, terdapat paras yang setia mewarnai isi kepala. Ada kenangan-kenangan indah, yang hingga saat ini masih menempati tahta tertinggi relung jiwa. Ada nama, yang hingga saat ini, masih terukir indah meskipun eksistensinya tak lagi senyata dahulu.

Namun dia, bukan aku. Dia adalah jiwa yang lebih dulu singgah di hatinya, terpisah karena hal yang aku sendiripun tak tahu apa. Tapi hal itu, tak menjadi penghancur kokohnya dinding rasa yang setia berdiri untuknya.

Selama ini, aku hanya sebatas tokoh yang ikut meramaikan cerita hidupnya. Hanya tokoh biasa, yang tak memiliki tempat khusus dalam cerita.

Jika kalian tanya bagaimana perasaanku, tentu saja aku tidak baik-baik saja. Rasanya seperti orang bodoh, terlalu percaya diri, padahal nyatanya semua hanya angan belaka.

Rafael, tapi jika aku boleh bertanya, setelah realita yang menghantam dunia anganku, mengapa aku masih tak bisa menghapusmu? Mengapa, setelah apa yang terjadi, masih kamu, yang namanya ku tunggu untuk mengisi ruang obrolan di aplikasi pesan singkatku? Mengapa hanya kamu, yang mampu membuka kunci dari pertahanan jiwa, yang ku kunci rapat?

Kamu jahat, Rafael. Kamu membuatku memberikan hatiku, tapi kamu, bahkan meminjamkannya sebentar pun enggan. Kamu, orang jahat.


Setiap malam, aku mencoba untuk mencari cara agar bisa membencimu. Namun, bahkan saat aku tertidur dan bermimpi, kamu ada disana. Kamu tersenyum padaku. Dan itu, membuatku terjerat dalam lingkaran siksaan terus menerus. Kamu, orang jahat. Jika kamu mau mengambil hatiku, setidaknya, berikan juga hatimu padaku.

Tak peduli sejauh apapun aku berlari, jalan yang kulalui, selalu mengarah padamu


Hiruk pikuk gedung perkantoran dimana aku berada saat ini, menyadarkanku, sudah sejauh mana raga ini melangkah. 2 tahun lalu, apa yang ku lakukan di jam seperti ini, hanya sebatas menggerutu tentang tugas yang menumpuk, atau bercengkrama dengan teman-temanku. Namun kini, aku sedang duduk menunggu rekan kerjaku, untuk menghadiri sebuah rapat.

Cukup lama aku menunggu, hingga sosok yang rupanya sudah lama tak ku lihat itu, kini nampak tepat di hadapanku. Membawa kembali sejuta kenangan, yang hingga saat ini tak pernah bisa ku lupakan, tak peduli sejauh apapun aku ingin menghapusnya.

Namanya Rafael. Si pencuri hati, yang enggan memberikan hatinya padaku. Namun, setelah apa yang terjadi pun, tak ada sedikit saja niatnya untuk pergi dari hatiku. Oh, atau bukan dia yang enggan pergi dari hatiku, tapi aku, yang hingga detik ini enggan memberinya celah untuk pergi.

Hanya sebatas untaian kata yang berucap, janji lisan yang bersikeras untuk menghapusnya, namun semua hanya sebatas omong kosong belaka.

Karena kamu indah, Raf. Semua yang kamu buat, terlalu indah, sehingga aku susah lupa. Tepatnya, tidak ingin lupa.


Mau dikatakan apa lagi, kita tak akan pernah satu Engkau disana, aku disini, Meski hatiku memilihmu

Pada akhirnya, jiwa yang tersakiti ini adalah pemenangnya


Beberapa minggu setelah obrolanku dengan Dasha, aku kembali bertemu dengan mantan sahabatku.

Pertama kalinya, setelah apa yang terjadi hari itu, aku kembali sosok itu. Sosok yang dulu, ku kira dapat kuandalkan dan kusebut sahabat. Namun nyatanya, Ia menjadi sosok jahat dalam hidupku. Si tokoh cerita, yang tercatat sebagai pemberi noda terhadap sucinya kata persahabatan.

Aku, membencinya.

Awalnya aku berniat untuk berjalan melewatinya begitu saja. Namun tak ku sangka, Ia memanggil namaku.

“Gue sama Jupiter engga jadian, Tal,” ucapnya. “Gue, minta maaf. Gue bener-bener minta maaf.”

Aku tersenyum, tak ada rasa hatiku ingin bertanya, tentang alasan mengapa mereka tak jadi mengukuhkan janji bersama. Karena aku merasa, hal itu tak lagi penting. Orang yang menilaiku hanya karena cerita orang lain, tak akan pernah pantas kusebut kekasih hati. Dan orang, yang menggores luka, meninggalkan seolah aku tak pernah ada, tak akan pernah pantas, aku sebut sahabat.

Ingatanku buyar, tatkala seorang jurnalis kembali memberikan pertanyaan padaku, seolah terbawa arus mesin waktu, yang mengajakku kembali ke masa dimana kelam itu tak lagi ada.

Emangnya, engga ada perasaan sakit hati, kak? Nulis cerita kaya gini, pasti butuh keberanian yang besar, kan?” Tanyanya.

Aku kembali tersenyum. “Saya merasa sakit hati, itu emang bener. Saya punya krisis percaya diri, susah percaya sama orang lain, itu juga bener. Tapi, saya engga mau, kalau semua hal buruk yang saya alami itu, jadi penghambat bagi saya buat terus berkembang jadi pribadi yang lebih baik. Semua luka yang saya tuangkan ke dalam karya ini, ibaratnya jadi tanda, kalau saya udah bangkit. Saya engga takut lagi, engga ngerasa terbebani lagi, waktu saya ingat kejadian itu. Disini saya bisa nunjukkin, kalau saya udah sepenuhnya berdiri tegak, jadi pemenang yang dulu sempat terbuang.”

Dan, begitulah bagaimana ini berakhir. Aku tak pernah menyesal akan hadirnya mereka di hidupku. Rasanya memang menyakitkan, dan meberi trauma mendalam, tapi tak apa, kini aku sudah berdiri lagi.

Aku, sudah bisa mencintai diriku lagi. Aku berharga, dan sedang terus belajar, untuk mengizinkan jiwa lain menebar bahagianya dalam ceritaku.

Untuk kamu, yang dulu ku kira memberi bahagia namun berujung menoreh luka, ku harap, tak ada lagi jiwa yang bernasib sama denganku. Karena sungguh, rasanya menyakitkan.

Dan untuk kamu, yang ku kira sahabat sejati. Ingatlah, segala sesuatu yang diniatkan buruk, tak akan berakhir bahagia. Semoga, kamu sudah menyadari itu.

Tapi, tak apa. Karena kini, aku sudah berdiri lagi. Aku pemenangnya.


Kau datang tak kala sinar senjaku telah redup Dan pamit ketika purnamaku penuh seutuhnya Kau yang singgah tapi tak sungguh Kau yang singgah tapi tak sungguh Kau bukan rumah

Don't trust anyone


Aku dan Dasha, memang tidak bisa dibilang dekat. Namun, ada beberapa saat dimana kami menghabiskan waktu bersama, atau sekedar berdiskusi tentang perilaku manusia di bumi.

Menjalin hubungan dengan seseorang yang mereka sebut lelaki, juga sebetulnya bukan hal baru bagiku. Namun, sudah lama saja, sejak terakhir kali aku menjalaninya. Untuk itu, karena ini yang pertama setelah sekian lama, aku langsung menceritakannya pada sahabatku. Iya, dia sahabatku, dulu. Namanya Clarissa.

Pertama kali ku bercerita, tentang bagaimana lelaki bernama Jupiter itu meminta hadir untuk masuk, ke dalam hidupku, Clarissa menanggapinya dengan semangat. Aku selalu menanyakan padanya, tentang apa saja yang boleh, dan tidak boleh ku lakukan, demi kelancaran hubunganku dengan Jupiter.

Karena jujur saja, setelah beberapa hari ku lewati dengan pesan-pesan singkat darinya, tembok tinggi yang semula ku bangun dengan kokoh, perlahan hancur. Pintu yang mulanya terkunci rapat, seolah memberi izin, pada si pembawa bahagia, untuk menorehkan warna, dan kata-kata yang terangkai menjadi cerita.

Namun, dasarnya aku ini memang payah, waktu dimana Jupiter mengajakku untuk pergi bersama, aku juga mengajak Clarissa untuk ikut. Meskipun, awalnya Jupiter tak setuju. Ayo lah, orang gila mana yang ingin acara kencannya diganggu?

Yah, nyatanya orang seperti itu ada. Aku, orangnya. Seiring berjalannya waktu, hubunganku dan Jupiter semakin dekat. Dan, segala sesuatu yang ku lalui dengannya, tak hanya tentang kami berdua. Tapi, juga Clarissa. Karena dia, selalu ada disana.

Ribuan kata dan perlakuan manis, Jupiter berikan padaku. Membuatku mengira, bahwa aku memang satu-satunya. Aku, berharga. Aku, sangat beruntung, karena memiliki calon pengunci hati sepertinya, dan sahabat yang selalu mendukungku seperti Clarissa.

Iya, aku hanya mengira bahwa hal itu benar adanya. Karena nyatanya, sebelum pernyataan cinta itu terucap, dan pengukuhan janji atas hari-hari indah yang telah terjadi, hanya sebatas angan-angan.

Ku kira, pengkhianatan seperti ini, hanya terjadi dalam film, yang suka ku tonton. Namun, dunia memang sangat lucu, karena sekarang, hal itu menimpaku sendiri.

Berhari-hari ku lalui dengan gelisah tatkala sang surya bersembunyi, dan digantikan rembulan. Waktu demi waktu, yang ku habiskan hanya untuk mencari tahu, apa yang salah denganku, nyatanya sia-sia.

Jupiter, lelaki itu tanpa alasan yang jelas, merubah sikapnya padaku. Tak ada lagi sapaan selamat pagi, tak ada lagi telinga yang setia mendengar keluh kesahku menjelang tidur, dan tak ada lagi, waktu yang ku habiskan bersamanya dengan buncahan bahagia yang memenuhi rongga dada.

Rasanya seperti dijatuhkan ke dalam lubang dalam, saat apa yang sudah ku bangun sempurna untuknya, tiba-tiba dihempaskan seolah apa yang aku dan dia punya, tak pernah terjadi. Kami bahkan belum mengukuhkan janji, atas apa yang kami rasakan terhadap satu sama lain. Namun, semuanya musnah begitu saja.

Pencarianku untuk mencari tahu apa yang salah, kini sudah berakhir, tatkala, ku lihat dia bersama orang lain, yang dulu, ku sebut sebagai sahabat.

Rasanya bodoh sekali, jika mengingat air mata yang ku keluarkan selama beberapa minggu ini. Rasanya, seperti tidak berharga. Rasa percaya diri yang ku bangun, gembira yang Ia beri bagai secercah cahaya di tengah gelapnya dunia, kini seolah tak berarti.

Semenjak hari itu, tak ada lagi pesan yang ku kirimkan untuk Jupiter, ataupun Clarissa. Sebaliknya, mereka seolah menghapus eksistensiku di dunia. Menganggapku seperti sosok yang terlihat, padahal sosok inilah, yang jiwanya mereka tusuk dan hancurkan tak bersisa. Hingga akhirnya, raga ini berjalan namun tak berjiwa.

Kalian, jahat. Apa yang kalian lakukan, sungguh jahat.

Berhari-hari ku habiskan dengan air mata. Meratapi nasib, yang bergelimang duka, membenci diri ini, karena merasa tak berharga. Namun pada akhirnya, Tuhan menunjukkan kuasanya.

Setelah sekian lama menyendiri, hari itu akhirnya ku putuskan untuk keluar rumah, hanya untuk mencari suasana baru. Saat itu, aku bertemu Dasha, teman yang mengenalkanku pada Ia yang tak ingin lagi ku sebut namanya.

Gadis itu bercerita, bahwa selama ini, mantan sahabatku, kerap kali mencoba mendekati lelaki itu. Terbukti dari beberapa unggahan, yang Ia unggah di akun close friends. Mengetahui hal itu, aku rasanya ingin tertawa, ternyata yang selama ini, hanya aku yang menganggapnya sahabat. Dasha bercerita, bahwa mantan sahabatku, kerap kali menjelekkanku di hadapan lelaki itu. Dan yang aku tak habis pikir, kenapa dia percaya?

Jika memang dia ingin singgah dengan penuh kesungguhan, harusnya Ia memastikan dulu padaku, bukan?


Segala sesuatu yang berawal tidak baik, akan berakhir tidak baik juga.


Jadi, cerita ini diambil dari kisah nyata?” Tanya seorang jurnalis. Aku menanggapinya dengan tersenyum, seraya dengan itu, anganku kembali ke tahun 2018, dimana segala yang aku tulis dalam buku ini, benar-benar terjadi.

Sebuah cerita kelam, namun kini ku jadikan pelajaran, bahwa tak semua yang ku mau berjalan sesuai rencana. Tak semua, yang ku kira memiliki akhir bahagia, memang begitu adanya. Juga, tak semua senyum yang ku kira benar indah bagai cahaya sang surya, tak bermakna terbalik, dari apa yang terlihat.

Namanya, Jupiter. Jupiter Aksara Wirdjadinata. Si pencuri hati, yang berhasil meruntuhkan tingginya benteng pertahananku. Si pembawa bahagia, dalam setiap hal kecil yang Ia lakukan untukku. Si penghancur jiwa rapuh, yang mulanya percaya bahwa cinta dan akhir bahagia benar adanya.

Aku bertemu dengannya, di pesta ulang tahun temanku, yang awalnya tak akan kuhadiri. Ayolah, aku sangat benci keramaian, sehingga pesta dengan banyak orang, dan musik menggema, bukan ide yang bagus. Namun Dasha, si wanita cantik yang berulang tahun, terus memaksaku untuk datang.

Seperti yang kuduga, pesta itu membosankan. Terasa menarik bagi yang lain, tapi tidak denganku. Kenapa ya, orang-orang, sangat suka keramaian?

“Males engga, sih? Rame banget di dalem.”

Tubuhku sedikit terperanjat, tatkala ku dengar suara itu. Suara yang saat itu, menjadi yang sangat kusukai. “Gimana?”

“Itu.” Tunjuknya ke arah ruang pesta. “Rame banget, kalau bukan karena Dasha, gue males banget dateng ke tempat rame begini.”

Aku hanya menganggukkan kepala sebagai tanggapan, bukannya sombong, namun aku memang tak pandai berbasa basi dengan orang tak dikenal.

By the way, Jupiter. Mama sih biasa manggilnya, Juju.” Ucapnya seraya mengulurkan tangan padaku. Tentu saja, kusambut dengan senyum, hal ini termasuk tatakrama, kan? “Talia, panggil Talia aja gapapa.”

Dan disana, semua bermula. Kisah pahit yang kini ku abadikan dalam buku, hanya sebagai bukti kepada mereka yang telah menyakitiku, bahwa si rapuh ini, kini dapat berdiri tegak kembali.

Sebuah catatan dari aku, yang pernah kau janjikan untuk mengarungi kerasnya hidup bersama.


Nanti, kalau kamu udah 20 tahun, kita nikah, ya?

Mengingat kembali hari dimana kamu mengatakannya, membuatku tersenyum. Namun, bukan senyum bahagia kala aku mendengar kalimat itu, tapi senyum penuh duka, karena aku tahu, itu semua tak akan pernah terwujud.

Cincin yang kamu beri hari itu, masih setia melingkar di jariku. Sebagai tanda, bahwa meskipun waktu telah berlalu, namun apa yang ku punya untukmu, masih tetap ku jaga dengan baik.

Si pemilik senyum manis yang memiliki kegemaran terhadap kendaraan bermotor roda dua itu, selalu memiliki ribuan cara untuk memberi sensasi bahagia.

Dia, yang selalu menghargai apapun yang aku lakukan, tertawa pada setiap candaanku, dan tangannya yang selalu setia mendekap, kala raga ini tak mampu menumpu kerasnya beban dunia.

Dia, selalu istimewa, dan sangat berharga.

3 tahun yang yang kuhabiskan bersama Ian, tak pernah tak bahagia. Meskipun terkadang, ada gundah yang menyesakkan jiwa, saat Ia pergi bersama motor kesayangannya.

Iya, Ian termasuk salah satu yang hobi berpacu dengan kendaraan bermotor roda dua. Mungkin, menurutnya hal itu menyenangkan, tapi bagiku, cukup membuat susah tidur kala membayangkannya.


Kue ulang tahun, kado, dan surat berisikan ucapan selamat atas tercapainya satu babak baru dalam hidup, untuk dia yang ku sayangi.

Hari ini, hari ulang tahun Ian yang ke-18. Aku, sudah menyiapkan kejutan untuknya. Tahun pertama memasuki usia legal, memang sudah sepatutnya dirayakan lebih spesial, bukan?

Iya, harusnya seperti itu, yang aku ingin dan rencanakan, memang begitu. Tapi Tuhan, nampaknya tak ingin itu terjadi.

Rasanya seperti disengat ribuan lebah beracun, dijatuhkan ke lubang yang sangat gelap dan dalam, sampai rasanya untuk bernafas saja sulit.

Ian kecelakaan, Ray. Ian udah pulang ke rumah Tuhan.

Jika saja aku memiliki kekuatan super, untuk mengetahui apa yang terjadi, sudah pasti ku dekap erat raganya, agar tak hilang dari sisiku.

Kehilangan orang yang tersayang, apapun kondisinya, bukanlah suatu hal yang menyenangkan. Tidak ada hal yang bagus dari perpisahan tanpa ucapan selamat tinggal. Kalau pun, aku bisa mengucapkan selamat tinggal dan memeluknya untuk yang terakhir, sudah pasti tak akan pernah ku lepas.

Aku masih ingat, air mata penuh luka yang mengalir di pipiku hari itu. Aku masih bisa mendengar, jerit histeris orang-orang terdekatnya, saat melihat raga itu tertidur, dengan wajah pucat dan kain putih yang menyelimuti.

Mereka bilang, dunia ini memang terlalu kejam untuk jiwa-jiwa yang indah, sehingga kadang, Tuhan memanggil mereka pulang lebih dulu. Tapi Tuhan, kenapa jiwanya yang harus Kau ambil? Kenapa belahan jiwaku yang harus Kau panggil pulang?

Dia, yang seharusnya disini bersamaku. Bersama meraih cita, demi mewujudkan cinta di kehidupan yang akan datang. Aku dan dia, telah berjanji, Tuhan, kenapa? Kenapa Kau malah memanggilnya?

Seusai itu, tatkala ku lihat raga itu terbaring, dan menyatu dengan bumi, segala sesuatu yang seharusnya indah, kini tak lagi sama.

Segala sesuatu yang seharusnya menyenangkan, kini tak lagi menemukan makna bahagianya. Tak ada lagi tawa, tak ada lagi binar bahagia, semua hilang, bersamaan dengan jiwanya yang telah melangkah menuju keabadian.

Bertahun ku jalani penuh duka, rasanya hampa. Seperti raga yang sudah tak berjiwa, namun terus berjalan hanya karena Tuhan belum memberikan ajakan untuk pulang.

Hingga akhirnya, hari itu datang, hari ulang tahunku yang ke-20, dimana seharusnya, di usia ini, aku dan dia mengukuhkan janji sehidup semati.

Tanganku mengusap batu nisan itu, dimana namamu tertulis sebagai tanda, bahwa raga dan jiwamu telah damai di sisi-Nya.

Kamu tahu, Ian? Aku bahkan berdandan layaknya seorang pengantin, agar disana kamu lihat, bahwa aku, masih menunggumu. Aku, mencintaimu dan itu sungguh.

Aku engga suka ada disini tapi engga ada kamu, Ian. Aku mau ikut kamu, boleh, ya?

Kalimat itu terucap begitu mulus dari bibirku. Ada nada lelah, dan ingin menyerah saat aku mengatakannya, namun aku tak main-main, itu sungguh.

Berjam-jam ku habiskan untuk menangis di atas tempat persemayamannya yang terakhir, berkecamuk duka dan rasa putus asa.

Keinginan itu begitu kuat, karena yang ada dalam benakku, hanya Ian. Terdengar menyedihkan, namun itu nyatanya.

Hingga akhirnya aku tertidur, di atas pusaranya. Menyandarkan kepalaku di atas batu nisan, dengan air mata yang mengering tanpa diusap.

Seketika setelah aku menutup mata, aku melihatnya, Caspian, dia ada disana.

Mengulas senyum yang sekian lama ku rindukan, memberi tatapan penuh cinta, yang selalu berhasil menyejukkan jiwa, dan membawa kembali sejuta cinta dan kenangan yang Ia bawa pergi, bersama raganya yang kini damai bersama bumi.

Tubuhku terasa kaku, jangankan untuk mengucap kata, menangis dan melangkah pun, rasanya tak kuasa. Hingga perlahan, raga itu mendekat, memberi senyum terindahnya untukku.

Ray, tetap hidup, ya? Aku kan engga kemana-mana. Selama kamu hidup, aku akan terus ada di hati dan pikiran kamu. Bahagia, ya?

It's like an echo. His whisper through my ear, but after that, he disappeared. And when I woke up, cloud is dark, the wind has blown, like the universe says, that he always here.

Dengan itu, aku tersenyum. Menatap langit, yang mana aku yakin, seperti dia yang hadir di mimpiku, saat ini, Ia ada disana. Menatapku dengan teduh, menjagaku dalam damai.

Segalanya tak akan jadi langsung mudah, prosesku untuk benar-benar bangkit dan menghilangkan segala rasa, untuk pergi ke tempatnya, memang tak mudah untuk sirna.

Namun perlahan, tapi pasti. Aku, mencoba terus berdiri. Seperti yang Ian katakan padaku, dia ingin aku bahagia. Meraih segala mimpi yang ku punya, melanjutkan hidup tanpa beban yang menyesakkan dada. Dan pastinya, dengan doa yang selalu ku ucap untuknya, agar senantiasa tenang dan bahagia dalam lindungan-Nya.

Untukmu, Caspian Nicholas Putera, terima kasih, atas 4 tahun terindah di dalam hidupku.

Kehadiranmu dalam hidupku, seperti suatu keajaiban, dan kepergianmu ke tempat yang tak dapat lagi ku jamah, bagai hantaman benda tajam yang memberi luka dalam.

Tapi Ian, tak ada satu detikmu ku rasakan penyesalan karena mengenalmu. Mengenal, dan memiliki jiwa seperti mu dalam hidupku, adalah anugerah.

Caspian itu, menyenangkan. Memiliki seseorang seperti Caspian, sangat menyenangkan.

Selamat beristirahat, cinta abadiku. Doa ku, akan selalu mengalir untukmu. Meskipun ragamu tak lagi dapat ku dekap, namun ceritamu yang ku tulis dalam karyaku, akan membuatmu tetap hidup, abadi selamanya. Begitulah, bagaimana aku, menemukan arti selamanya untuk kita.

Sampai saatnya kita bertemu lagi, dan ragamu dapat ku dekap lagi, tolong jaga aku dari tempat terdamai dimana kamu berada.

Satu lagi, untuk kalimat yang seharusnya ku ucap padamu hari itu, selamat ulang tahun, Caspian.

Terima kasih, Caspian. Tertanda, aku yang selalu mencintaimu dalam senyap, Raya.


I’ll remember your name Even when time passes and I become an adult I’ll keep you safe 'Cause you'll be in my heart Yes, you'll be in my heart From this day on Now and forever more You'll be in my heart No matter what they say You'll be here in my heart Always

Sebuah catatan dari aku, yang pernah kau janjikan untuk mengarungi kerasnya hidup bersama.


Hari ini, awan mendung, sang surya seolah malu untuk memancarkan sinarnya. Teruntuk kamu, si pencuri hati yang kini telah damai dalam lindungan-Nya, izinkan aku untuk menulis kembali segala hal tentang kita.

Mereka bilang, jika kamu menjalin kasih dengan dia yang gemar menulis cerita, percayalah, saat Ia memutuskan untuk menuliskan kisahmu dalam karyanya, kamu akan abadi disana.

Dan itu, yang akan kulakukan. Memutar kembali kisah yang telah usang, memanggil kembali segala tawa, bahkan tangis yang pernah terlukis. Karena aku, ingin segala tentangmu tetap abadi, meskipun nyatanya, segala yang ku lihat tentangmu saat ini, hanya sebatas ilusi.

Aku ingat, saat itu aku hanya seorang seorang siswa SMA kelas 10. Seorang gadis remaja, yang sesungguhnya tak memiliki hal yang begitu spesial untuk diceritakan.

Namun hari itu, aku bertemu dengannya. Si pemilik senyum manis, pencuri hati yang kini hanya hidup dalam memori. Namanya, Caspian. Caspian Nicholas Putera.

Entah apa yang Ia lakukan saat itu, tapi tiba-tiba, Ia menghampiriku dan mengatakan, “Lo ada pulpen warna item, engga? Tapi yang merk faster.

Saat itu, tak ada jawaban yang ku berikan, tapi aku langsung memberikan apa yang Ia ingin pinjam, kebetulan aku memang memilikinya. Ku kira, saat itu adalah kali pertama dan terakhir ku bertemu dengannya, namun nyatanya, takdir menuntunku untuk melihat paras itu lagi. Hingga akhirnya, bukan hanya pulpenku yang Ia pinjam, tapi juga hatiku.

Bedanya, pulpen yang Ia pinjam saat itu, Ia kembalikan. Tapi hatiku, tak kunjung Ia kembalikan sampai saat ini. Segala rasa dan kenangan yang ku punya untuknya, Ia simpan rapi, dan didekap erat hingga perjalanannya menuju keabadian.

Caspian, bagaimana disana? Kamu, masih menyimpan hatiku dengan baik, kan?

19 Desember 2021, itu yang ku lihat, tatkala melihat kalender yang sedari tadi ku bolak balik.

Aku menghela nafas, rasanya baru kemarin, ternyata sekarang, semua itu terjadi sudah hampir 2 tahun yang lalu. Masa kelam yang dulu, ku kira tak bisa ku lalui, nyatanya masih memberi ruang untukku berdiri tegak hari ini.

Jika kalian bertanya, apakah ada kata maaf dari sang penggores luka kala itu? Jawabannya, tidak. Tidak pernah ada kata maaf yang terucap, atau penjelasan logis yang layaknya aku, dan keluargaku dengar.

Hidup memang seperti roller coaster, kadang di atas, kadang di bawah. Kala itu, dengan semua kata indah yang terucap, perilaku menyentuh yang menenangkan, dan janji, yang meyakinkan ku, bahwa masa depan yang ku miliki, akan indah bersamanya. Namun nyatanya, semua berbanding terbalik dengan apa yang terjadi.

Aku tidak menyesali apa yang terjadi, karena hal itu, aku kini tahu, bahwa manusia pada dasarnya memang hanya tempat untuk menebar janji. Namun, terkadang enggan untuk menepati.

Bangkit dari kegagalan, berproses untuk kembali meyakinkan diri ini, bahwa aku sangat berharga, bukan perkara mudah. Ayo lah, dia yang dulu ku percaya, sudah membuatku jatuh hingga di titik yang aku pun, tak sanggup untuk membayangkan.

Namun, semua sekarang sudah berakhir. Perlahan, aku menemukan diriku lagi, mencoba mencari celah menuju cahaya, yang akan mengantarkanku pada kata bahagia.

Aku, sudah baik-baik saja.

Aku, berharga. Dan teruntuk kamu, si penggores luka, jika di kehidupan selanjutnya, Tuhan memberi mu kesempatan untuk bernafas kembali, semoga tak ada lagi jiwa yang kau hancurkan seperti aku.

Tertanda, jiwa rapuh yang kini sudah berdiri tegak melebarkan sayapnya.

Detik demi detik berlalu, namun tak ada satu kata pun yang keluar. Padahal, aku sangat menantikan penjelasan, atas segala tangis dan tanyaku.

Jika kalian bertanya, apa yang terjadi? Tadi setelah Namora mengirimkan alamatnya, aku langsung bergegas menuju tempat itu. Hal yang pertama aku lihat adalah, Adit sedang tertawa lepas bersama seorang gadis yang sosoknya tak lagi asing bagiku.

Namanya Devina, aku pernah bertemu dengannya minggu lalu, saat aku dan Adit selesai mengurus keperluan pertunangan kami.

Dia gadis yang baik, dan sangat ramah. Hanya saja, saat itu aku sedang tidak memiliki suasana hati yang bagus. Sehingga, tak banyak yang ku bicarakan dengannya, menanggapi pertanyaannya pun, seperlunya saja.

Jujur, aku merasa bersalah karena hal itu.

Kamu tau engga, salah kamu apa?

Aku menatap heran ke arahnya, menunggu kalimat apa yang akan Ia lanjutkan. Karena jujur, aku tak mengerti apa yang Ia katakan.

Bukankah aku, yang harusnya menuntut penjelasan? Atas malam-malam yang kuhabiskan untuk bergelut dengan tanda tanya, dan tangisan tak berdasar.

Namun ini, ada apa?

“Bukannya aku ya, Dit, yang harusnya nuntut penjelasan dari kamu? Seminggu ngilang engga ada kabar, tau-tau aku liat kamu lagi berduaan sama Devina.”

Tak ada jawaban, namun tawa remeh, dan tatapan mengintimidasi yang ku dapatkan.

Tatap yang dulu ku cari, saat kalut melanda hati, kini tak ada lagi. Aku tau, mungkin aku dan dia masih belum lama, menulis cerita bersama, tapi apa yang ku dapat hari ini, tetap memberi luka.

Kamu sadar engga, sih? Kamu itu selalu bertingkah seolah engga ada yang salah, padahal selama ini, kamu sumber masalahnya,” ucapnya. Ia mencengkram kuat batang stirnya, seolah ingin menyalurkan amarah yang memuncak, namun tak bisa sepenuhnya dikeluarkan.

Hal itu membuatku bertanya, apa salahku sebesar itu? Demi Tuhan, jika memang aku salah, aku pasti akan merasa. Tapi, sebelum dia menghilang selama satu minggu, semua memang baik-baik saja. Lalu, kenapa?

Minggu lalu, waktu kita ketemu Devina, muka kamu tuh engga ngenakin banget. Bahkan Devina aja sadar, dia bilang sama aku asal kamu tau. Sumpah, aku ngerasa engga enak banget sama Devina karena itu.

Oh, wow. Jadi karena itu?

“Waktu itu aku lagi capek, Dit. Mood ku bener-bener engga bagus, makanya aku kaya males nanggepin Devina. Jujur, aku juga ngerasa engga enak karena hal itu. Tapi, apa karena itu kamu harus banget, ngilang selama seminggu? Seengganya kalau aku emang ada salah, ya kamu bilang. Jangan ngilang dan ninggalin aku tanpa penjelasan, kita bentar lagi tunangan, kalau kamu lupa.”

Sekali lagi, hanya tawa sarkas yang ku dapat. Hal ini membuatku berpikir, apa selama ini aku memang belum mengenalnya? Apa ini, sifat aslinya yang selama ini tertutup oleh topeng palsu?

Pertunangannya batal. Lagian, sebenernya mama, adek, sama keluarga aku juga engga suka sama kamu. Selama ini aku tahan aja biar kamu engga ngerasa kecil hati.

Kali ini, aku yang tertawa. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa yang menandakan, bahwa aku tak percaya, Ia berkata seperti itu.

Sejak awal, aku bahkan tidak meminta agar aku dan dia terjadi. Sejak awal, ibunya lah, yang menginginkan ini. Memujiku dengan 1001 cara, mengatakan bahwa aku calon menantu terbaik untuknya, hingga pembicaraan menuju arah yang lebih serius itu terjadi.

Sejak awal, mereka yang memulai. Lalu, kenapa malah sekarang, kesannya seperti aku yang selalu memohon agar segalanya terjadi?

Untuk pertama kali dalam hidupku, aku merasa, pertahanan diri yang sudah lama ku jaga, runtuh tak bersisa.

Ribuan janji yang terucap, senyum meyakinkan yang Ia ukir, kini rasanya hanya sebatas pertunjukan komedi.

Kamu lucu, Aditya.

Pasang seatbelt, aku anter kamu pulang. Abis ini engga usah temuin aku lag-

“Aku pulang sendiri aja engga apa-apa, Dit. Kamu engga perlu susah payah nganter aku pulang. Jujur aku kaget, sama sifat kamu yang kaya gini. Atau dari awal, emang aku ya, yang kurang kenal sama kamu?” Tanya ku. “It's fine, kalo kamu mau batalin semuanya. Tapi, seengganya, tolong nanti ajak keluarga kamu datang ke rumah, bilang baik-baik sama keluarga ku. Dari awal, kamu yang minta ini semua, bukan aku.”

Setelah mengatakan itu, aku segera membuka pintu mobilnya, dan pergi dari sana. Bohong, jika setelahnya aku tidak menangis. Aku merasa sangat dipermainkan, atau memang selama ini, niat Adit dan keluarganya, memang hanya untuk mengolokku saja?

Namun, apapun itu, meskipun hari ini aku merasakan sakit luar biasa, tapi aku tetap bersyukur. Tuhan masih menyayangiku, dengan menunjukkan sifat aslinya, sebelum segalanya berjalan lebih jauh.

Aku, pantas dapat yang terbaik, dan orang itu, jelas bukan seorang Aditya Klauzan.